Rabu, 21 Oktober 2009

RELIEF PADA CANDI SAWENTAR KIDUL KARYA SENI KRIYA ABAD KE-15 M YANG SARAT MAKNA


I. PENDAHULUAN
Kriya adalah kegiatan seni yang menitikberatkan kepada keterampilan tangan dan fungsi untuk mengolah bahan baku yang sering ditemukan di lingkungan menjadi benda-benda yang tidak hanya bernilai pakai, tetapi juga bernilai estetis (Wikipedia). Ungkapan karya seni kriya pada setiap jaman mempunyai gaya tersendiri yang dapat mencirikan hasil karya itu sendiri. Namun hasil karya seni kriya pada masa Hindu-Buddha di Indonesia tidaklah sekedar bernilai estetis semata, tetapi juga mengandung makna simbolis berkaitan dengan religi yang berkembang pada masa itu.
Sebuah candi yang terbuat dari batu andesit, batu putih, maupun bata akan tampak kaku dan kurang estetis tanpa kehadiran seni kriya. Karya seni kriya pada candi mengisi bidang-bidang kosong yang terdapat pada komponen candi baik di bagian atap, tubuh, maupun kaki candi. Reliefrelief yang dipahatkan pada atap, tubuh dan kaki candi membuat candi yang tadinya tampak kaku menjadi sangat indah. Relief-relief itu dapat berupa hiasan dekoratif semata dan dapat berupa relief-relief yang menggambarkan adegan cerita di samping juga mengandung makna simbolis.
Salah satu relief candi yang mempunyai makna simbolis adalah relief pada Candi Sawentar Kidul. Candi Sawentar Kidul adalah sebuah kompleks candi yang ditemukan di Dukuh Centong, Desa Sawentar, Kecamatan Kanigoro, Kabupaten Blitar. Candi ini didirikan tahun 1358 Ç (1436 M), yang diketahui dari angka tahun pada ambang pintu salah satu miniatur candi pada gugusan utara. Situs candi ini ditemukan oleh Sugeng Ahmadi dan kawan-kawan ketika sedang menggali sumur untuk fasilitas pasar Desa Sawentar pada tahun 1999.

II. CANDI SAWENTAR KIDUL ARSITEKTUR PERALIHAN PADA ABAD 15 M
Penelitian selama enam tahap yang telah dilakukan Balai Arkeologi Yogyakarta di situs Candi Sawentar Kidul telah berhasil mengungkap denah bangunan dan pagar halaman candi. Pagar halaman terbuat dari bata berbentuk empat persegi panjang dengan luas 29,70 x 38,80 m². Halaman seluas itu terbagi menjadi dua bagian, halaman utara dengan luas 21, 30 x 29,70 m² dan halaman selatan dengan luas 17,50 x 29,70 m². Masing-masing halaman mempunyai pintu gerbang di sebelah barat.

Halaman utara lebih tinggi dari halaman selatan, yang tampak dari perbedaan ketinggian masingmasing ambang pintu bawahnya dan perbedaan ketinggian dasar dinding pagar halaman utara dengan dinding pagar halaman selatan.
Pada masing-masing halaman ditemukan sebuah gugusan candi yang sebagian besar terbuat dari batu andesit dan sebagian lagi terbuat dari bata. Gugusan candi di halaman utara terdiri dari dua buah batur berdenah empat persegi panjang berjajar melintang utara-selatan. Batur di sebelah timur terbuat dari batu andesit, di atasnya terdapat dua buah pondasi bangunan berdenah bujursangkar. Batur di sebelah barat juga berdenah empat persegi panjang. Pada bagian luar batur terbuat dari batu andesit, tetapi bagian dalamnya terbuat dari bata. Di atas batur tidak terdapat bangunan apapun. Di sebelah baratnya terdapat dua buah pondasi bangunan dari bata berbentuk bujursangkar. Bangunan ini berukuran kecil dan tinggal dua lapis bata saja. Di halaman selatan gugusan candinya hampir sama bentuk dan ukurannya dengan gugusan candi di halaman utara, yang berbeda hanya pada batur-baturnya. Batur sisi timur berbentuk bujursangkar yang berdiri sendiri-sendiri, masing-masing menyangga pondasi bangunan yang di atasnya terdapat bangunan berbentuk kubus dengan masing-masing dindingnya terdapat relief binatang.
Secara vertikal bentuk bangunan di halaman utara adalah paling bawah berupa batur panjang (soubasement), di atas batur tersebut terdapat dua buah pondasi, di atas masing-masing pondasi terdapat bangunan berbentuk kubus dengan panil-panil berelief binatang, dan susunan paling atas adalah miniatur candi. Bentuk miniatur candi itu mirip dengan miniatur candi di halaman depan Candi Panataran. Bentuk bangunan di halaman selatan secara vertikal sama dengan bangunan di halaman utara. Perbedaannya hanya pada baturnya, di halaman selatan dua buah bangunan miniatur candi itu berdiri di atas dua buah batur yang terpisah.
Miniatur candi di halaman Candi Panataran

Perkembangan arsitektur bangunan suci pada masa klasik tidak bisa dipisahkan dari perkembangan keagamaan yang terjadi pada waktu itu. Sebab hasil-hasil budaya waktu itu selalu dihubungkan dengan keagamaan yang dianutnya. Oleh karena itu, untuk memahami perkembangan arsitektur terlebih dahulu harus mengetahui perkembangan keagamaan pada waktu itu.
Abad ke-15 M merupakan masa-masa akhir Kerajaan Majapahit. Pada masa itu Majapahit mengalami masamasa suram, di dalam pemerintahan banyak terjadi intrikintrik dan perebutan kekuasaan antar keluarga. Banyak perubahan yang terjadi dalam bidang keagamaan.
Perubahan-perubahan itu juga terjadi pada arsitektur bangunan-bangunan suci. Dari sumbersumber prasasti, bangunan, serta kesusasteraan pada jaman Majapahit dipandang sebagai puncak sinkretisme agama Hindu dan Buddha. Proses penyatuan agama Hindu dan Buddha itu sebenarnya sudah ada sejak jaman Jawa Tengah kemudian memuncak pada jaman Jawa Timur.
Antara Dewa Çiwa dengan segala penjelmaannya dan Buddha dengan segala penjelmaannya dianggap tidak ada lagi perbedaan (Hadiwijono, 1975: 96-97).
Selain adanya sinkretisme agama Hindu dan Buddha yang menonjol pada masa Jawa Timur, tampak pula unsur-unsur Indonesia asli pada hasil-hasil seni Hindu dan Buddha. Dalam seni bangunan, susunannya tidak lagi memusat melainkan berderet ke belakang. Menurut Soekmono (1986: 237-238) susunan tersebut merupakan proyeksi datar dari susunan vertikal dengan tujuan pengarahan perhatian ke lokasi nenek moyang di gunung-gunung. Arca-arca – terutama jaman Majapahit – tampak kaku tanpa ekspresi. Hal ini dimaksudkan untuk menggambarkan seseorang yang telah meninggal. Menurut Stutterheim (1931: 6) sifat-sifat arca yang kelihatan seperti mumi itu kemungkinan menunjukkan potret seorang raja. Arca-arca demikian menggambarkan arca perwujudan leluhur. Relief-relief cerita yang dipahatkan pada candi tidak lagi bercorak naturalis melainkan simbolis, yaitu gepeng menyerupai bentuk wayang kulit.
Corak demikian merupakan ciri khas Indonesia. Penggambaran tokoh dengan bentuk tubuh pipih yang digambarkan tampak depan, kepala dan kaki menghadap ke samping, bentuk tokoh yang menyeramkan serta pengiring-pengiringnya yang berbentuk jelek menunjukkan sifat-sifat bentuk wayang yang merupakan gambaran dari dunia arwah (Kempers,1959: 23). Munculnya unsur-unsur Indonesia asli itu tentunya berhubungan dengan perkembangan keagamaan yang terjadi pada masa itu, sebab pada kenyataannya hasil-hasil seni tersebut memang bernafaskan keagamaan.
Pada seni bangunan unsur pemujaan leluhur dapat dilihat dari susunan bangunannya yang berteras-teras ke belakang seperti punden berundak, misalnya seperti Candi Sukuh di lereng Gunung Lawu dan punden-punden di lereng Gunung Penanggungan. Bangunan-bangunan tersebut merupakan bangunan yang didirikan pada masa Hindu tetapi mempunyai unsur-unsur pemujaan leluhur. Pada masa prasejarah punden berundak berfungsi sebagai tempat pemujaan arwah leluhur. Kata punden berarti tempat memundi atau memuja, sedangkan berundak artinya berteras. Istilah ini diberikan kepada bangunan yang mempunyai fungsi sebagai tempat pemujaan – khususnya pemujaan terhadap arwah leluhur (Heekeren, 1960: 76).
Menurut Soekmono (1977: 241) candi adalah kuil tempat pemujaan dewa. Di tempat itu orang berbakti kepada dewa, oleh karena itu benda terpenting untuk pemujaan adalah patung yang melukiskan dewa itu. Menurut kosmologi India, tempat bersemayam para dewa yang sesungguhnya adalah puncak Gunung Mahameru – gunung kosmis bangsa India. Dengan demikian candi merupakan pencerminan atau simbol tempat tinggal dewa-dewa itu atau merupakan replika Gunung Mahameru. Candi juga merupakan simbolisasi alam semesta.
Pembagian bangunan ke dalam tiga bagian yaitu kaki , tubuh, dan atap sesuai dengan lingkungan alam semesta yang terdiri atas bhurloka (lingkungan para makhluk yang masih bisa mati), bhuvarloka (lingkungan manusia yang sudah disucikan), dan svarloka (lingkungan para dewa) (Soekmono, 1972: 15). Sebagai replika Gunung Mahameru atau replika kosmos (alam semesta), candi harus didirikan di lingkungan yang suci. Oleh karena itu suatu tempat yang akan dipakai untuk mendirikan candi harus disucikan lebih dahulu. Tempat itu kemudian diberi tanda dengan sembilan patok, satu di pusat lainnya pada keempat sudutnya serta pada tengah sisi-sisinya.
Selanjutnya di halaman itu didirikan candi. Halaman candi kemudian dinyatakan dengan tembok keliling (Soekmono, 1977: 232-235). Halaman di dalam kompleks candi merupakan lingkungan yang suci, sedangkan pagar merupakan batas pemisah dengan dunia profan (Kempers, 1959: 20).
Kompleks percandian Jawa Tengah dengan titik utamanya di tengah kompleks, secara lengkap telah memberi kesan sebagai replika kosmos (gunung kosmos). Bangunan-bangunan suci di Jawa Timur yang susunannya dihubungkan dengan gunung-gunung yang berada di luar kompleksnya belumlah lengkap tanpa gunung yang menjadi latar belakangnya. Pada masa kemudian bangunan-bangunan seperti Candi Sukuh dan punden-punden Penanggungan ditempatkan di lereng-lereng gunung, suatu tempat yang sudah dianggap suci. Oleh karena itu, bangunan-bangunan itu tidak lagi memerlukan pagar keliling yang berfungsi sebagai pemisah dengan dunia profan. Jika konsep candi sebagai replika kosmos diterapkan maka sebagai bhurloka adalah lingkungan hidup manusia sehari-hari dalam arti yang sebenarnya, sebagai bhuvarloka adalah kompleks bangunan suci itu, dan sebagai svarloka adalah puncak gunung yang menjadi pusat orientasinya. Pada kompleks Candi Sukuh dan Punden-punden di Gunung Penanggungan tidak dijumpai lagi bangunan seperti candi dengan kaki tubuh dan atap, melainkan bentuk altar yang bagian atasnya datar yang berfungsi sebagai tempat sesajian. Bagaimana dengan Candi Sawentar Kidul, masuk dalam kelompok mana? Candi Sawentar Kidul mempunyai bentuk arsitektur yang unik. Candi ini mempunyai dua halaman berundak ke utara yang berorientasi ke puncak Gunung Kelud. Gugusan bangunannya berorientasi ke barat yang diperkuat dengan adanya pintu masuk ke halaman di sebelah barat.
Sedangkan bentuk gugusan bangunannya juga unik karena tidak lagi berbentuk candi sebagaimana umumnya yang terdiri dari kaki, tubuh, dan atap, melainkan berupa sebuah batur (soubasement) yang di atasnya berdiri bangunan berbentuk kubus dengan relief-relief binatang di keempat dindingnya, dan di atasnya terdapat miniatur candi. Di depannya terdapat batur memanjang utara-selatan. Gugusan bangunan itu ada di halaman utara maupun halaman selatan
pada kuadrant timurlaut.
Sebagaimana telah diketahui bahwa Candi Sawentar Kidul mempunyai pagar bata yang membatasi dua halaman candinya. Kedua halaman candi mempunyai perbedaan ketinggian yang menunjukkan bahwa halaman utara kemungkinan lebih sakral dari halaman selatan. Apalagi di sebelah utara pada garis lurus terdapat Gunung Kelud yang kemungkinan menjadi pusat orientasi karena dianggap sakral sebagai tempat tinggal dewa. Dengan susunan halaman yang demikian, maka candi ini mempunyai orientasi khtonis (ke arah alam), yaitu ke arah Gunung Kelud. Hal ini sesuai dengan candi-candi atau bangunan suci di Jawa Timur yang belum lengkap sebagai replika kosmos jika tanpa gunung di luarnya. Dengan ditemukan dua buah pintu gerbang masuk ke halaman candi di pagar halaman sisi barat, menunjukkan bahwa candi ini juga mempunyai orientasi kosmis (ke arah mata angin yaitu ke barat). Bentuk bangunan-bangunan yang ada di dalam kompleks candi tidak lagi seperti bentuk candi pada umumnya yang terdiri dari kaki, tubuh, dan atap dengan ukuran besar, melainkan berupa bangunan-bangunan batur (soubasement), salah satu di antaranya terdapat bangunan-bangunan miniatur candi, yang berfungsi sebagai altar pemujaan. Bentuk candi diperkecil menjadi miniatur, sedangkan batur candi berubah menjadi altar.
Namun adanya pagar keliling menunjukkan bahwa candi itu belum menempati tempat suci karena masih didirikan di dataran rendah, belum di lingkungan gunung yang dianggap suci. Oleh karena itu, diperlukan pagar untuk membatasi lingkungan yang telah disucikan (halaman candi) dengan lingkungan di luarnya. Jadi kemungkinan kompleks Candi Sawentar Kidul ini merupakan peralihan dari bentuk candi yang mempunyai orientasi kosmis ke bentuk punden berundak yang mempunyai orientasi khtonis.

III. PANIL-PANIL RELIEF BINATANG PADA DINDING BANGUNAN MINIATUR CANDI
Relief yang terdapat pada kompleks Candi Sawentar Kidul tidak banyak. Relief tersebut terdapat pada dinding-dinding bangunan miniatur candi baik yang terdapat pada gugusan utara maupun gugusan selatan.
Gugusan bangunan utara

Masing-masing gugusan bangunan terdapat dua buah bangunan miniatur candi. Dengan demikian panil-panil relief tersebut seharusnya berjumlah 16 buah. Namun yang berhasil ditemukan hanya 10 buah panil, yaitu 5 buah panil di gugusan bangunan utara dan 5 buah panil di gugusan bangunan selatan. Hal ini disebabkan sebagian besar gugusan bangunan itu telah runtuh sehingga ada beberapa panil yang telah hilang atau masih terpendam tanah. Relief-relief yang terdapat pada dinding-dinding bangunan itu berupa relief binatang. Ada yang sekedar hiasan dekoratif untuk memenuhi kebutuhan estetika, ada juga yang mempunyai makna simbolik sebagai candra sengkala maupun yang berkaitan dengan kehidupan politik saat itu.
Pada gugusan bangunan utara seharusnya terdapat 8 buah panil relief, namun yang ditemukan baru 5 buah panil relief. Panil-panil relief itu antara lain relief naga bermahkota sedang menggigit matahari dan relief seekor kuda -- yang terdapat pada bangunan sebelah utara -- serta dua ekor kuda yang saling berkejaran, dua ekor kuda berebut bola (uang kepeng ?), dan Ganeça


diapit dua ekor harimau sedang menggigit matahari yang terdapat di bangunan sebelah selatan. Kepastian letak panil berrelief tersebut dapat diketahui dari temuan dua buah panil saat dilakukan ekskavasi. Salah satu panil masih terletak pada tempat kedudukannya (intact), yaitu yang bergambar seekor naga bermahkota sedang menggigit matahari. Panil satunya yang bergambar seekor kuda sudah terlepas dan tergeletak di tengah pondasi bangunan sebelah utara. Ketiga panil yang telah ditemukan terlebih dahulu oleh penduduk masing-masing bergambar Ganeça diapit dua ekor harimau sedang menggigit matahari, dua ekor kuda berkejaran, dan dua ekor kuda berebut bola kemungkinan terletak di bangunan sebelah selatan karena bentuk ketiga panil ini mempunyai sedikit perbedaan dengan dua panil terdahulu.
Lima panil yang telah ditemukan tersebut secara sepintas hampir sama bentuk dan ukurannya, akan tetapi jika diperhatikan lebih dalam ternyata dapat dibedakan dalam dua tipe.
Perbedaannya terletak pada bingkai (lis) yang membatasi reliefnya, tipe pertama panjang dan lebar batu lebih besar dari panjang dan lebar bingkai, sedangkan tipe kedua panjang batu lebih besar dari panjang bingkai tetapi lebar keduanya sama.
Pada gugusan bangunan selatan seharusnya juga terdapat 8 buah panil relief, tetapi yang ditemukan baru 6 buah panil relief. Enam buah panil relief ini seluruhnya masih terdapat pada tempat kedudukannya. Salah satu bangunan pada gugusan bangunan selatan yaitu bangunan di sebelah selatan relatif masih utuh sehingga keempat panil reliefnya masih menempel pada dinding bangunan. Separuh bangunan di sebelah utara sudah runtuh, sehingga panil reliefnya tinggal dua buah. Keenam panil relief yang terdapat di gugusan bangunan selatan ini masing-masing menggambarkan adegan seekor kuda dalam berbagai posisi.
Permasalahannya adalah maksud penggambaran relief-relief binatang tersebut, apakah merupakan simbolisasi dari suatu peristiwa tertentu ataukah sebagai hiasan dekoratif belaka?

IV. SENI KRIYA YANG SARAT MAKNA
Salah satu hasil penelitian situs Candi Sawentar Kidul ini adalah ditemukannya tiga angka tahun yang tertera pada komponen-komponen gugusan bangunan, baik berupa angka tahun maupun sengkalan memet (gambar). Angka tahun terdapat pada ambang pintu (relung) miniatur candi yang memuat angka tahun 1358 Ç atau tahun 1436 M. Sengkalan memet terdapat pada panil-panil relief yang salah satunya menggambarkan seekor naga bermahkota sedang menggigit
matahari yang dalam bahasa Jawa kuna berbunyi “Nagaraja anahut Surya” yang berarti tahun 1318 Ç atau tahun 1396 M. Panil relief lain yang kemungkinan juga merupakan sengkalan memet adalah relief yang menggambarkan Ganeça diapit dua ekor harimau, Ganeça tersebut ternyata juga sedang menggigit matahari. Dalam bahasa jawa kuna sengkalan itu berbunyi “Ganeça inapit mong anahut surya” yang berarti tahun 1328 Ç atau tahun 1406 M.
Dengan adanya tiga angka tahun yang berbeda pada satu gugusan bangunan ini
menimbulkan permasalahan, lebih-lebih ketiga angka tahun itu masing-masing dari yang paling tua hingga yang paling muda terpaut 10 tahun dan 30 tahun. Permasalahan tersebut adalah: angka tahun mana yang menunjukkan tahun pendirian bangunan, dan dua angka tahun lainnya menunjukkan peristiwa apa.
Pendirian sebuah candi biasanya bertalian erat dengan peristiwa meninggalnya seorang raja. Hal ini dapat diketahui dari keterangan-keterangan yang termuat dalam kitab Nagarakrtagama dan kitab Pararaton (Soekmono dan Inajati, 1993).
Nagaraja anahut Surya
Candi didirikan untuk mengabadikan “dharma”nya dan memuliakan rohnya yang telah bersatu dengan dewa penitisnya. Misalnya: Candi Jago merupakan tempat pendarmaan Raja Wisnuwardhana, Candi Singasari dan Candi Jawi untuk memuliakan Raja Kertanagara, dan Candi Simping untuk memuliakan Raja Kertarajasa. Selain sebagai tempat pendarmaan raja yang telah meninggal latar belakang peristiwa sejarah suatu kerajaan atau latar belakang naik tahtanya seorang raja tampaknya juga mengilhami pendirian suatu bangunan suci.
Angka tahun yang tertera di ambang pintu candi biasanya menunjukkan tahun pendirian candi, misalnya seperti yang terdapat di ambang pintu Candi Angka Tahun yang merupakan salah satu gugusan bangunan di kompleks Candi Panataran. Atas dasar itu, maka kemungkinan angka tahun yang tertera pada ambang pintu (relung) miniatur Candi Sawentar Kidul juga menunjukkan tahun pendirian bangunan tersebut. Jika benar tahun 1358 Ç (1436 M) merupakan tahun pendirian Candi Sawentar Kidul berarti bangunan tersebut didirikan pada masa pemerintahan Suhita di Majapahit, sebab ia memerintah dari tahun 1351 Ç sampai 1369 Ç (1429-1447 M) (Djafar, 1978; Krom, 1931).
Dua angka tahun lain yang berhasil diidentifikasi berupa sengkalan memet menunjukkan angka tahun 1318 Ç (1396 M) dan 1328 Ç (1406 M).
Ganeça inapit mong anahut surya

Kedua angka tahun ini menunjukkan kronologi yang lebih tua dari angka tahun di ambang pintu (relung) bangunan miniatur candi. Kedua angka tahun ini tampaknya tidak menunjukkan kronologi tahapan pembangunan candi, sebab selisih angka-angka tahun tersebut tidak sebanding dengan ukuran bangunan.
Kemungkinan lain, angka-angka tahun yang berujud sengkalan memet tersebut berkaitan dengan gambaran yang terdapat pada relief-relief itu sendiri. Namun untuk dapat mengkaitkannya harus memahami makna simbolik relief-relief itu, dan ditafsirkan bahwa gambar-gambar dalam relief itu menunjukkan kejadian suatu peristiwa. Yang jelas jika identifikasi angka-angka tahun itu benar berarti peristiwa itu terjadi pada masa sebelum Suhita naik tahta. Pada masa itu kekuasaan Majapahit masih berada di tangan Wikramawarddhana, ayah Suhita, yang memerintah tahun 1311-1351 Ç (1389-1429 M) (Djafar, 1978).
Menurut Pararaton, peristiwa besar yang terjadi pada masa pemerintahan Wikramawarddhana, yang nyaris meruntuhkan Majapahit adalah upaya perebutan tahta oleh Wirabhumi. Peristiwa perang saudara ini dikenal sebagai peristiwa Paregreg. Pada masa pemerintahan Wikramawarddhana telah terjadi pertentangan keluarga, antara Wikramawardhana yang memerintah wilayah bagian barat (Majapahit) dengan Bhre Wirabhumi yang memerintah bagian timur (daerah Balambangan). Perang Paregreg terjadi antara tahun 1323 – 1328 Ç (1401 – 1406 M) (Djafar, 1978).
Sepeninggal raja Hayam Wuruk dan Patih Amangkubhumi Gajah Mada Majapahit memang telah mengalami kesuraman dan muncul suatu masalah yaitu perebutan kekuasaan dan pertentangan keluarga mengenai hak waris atas tahta kerajaan. Sebelumnya Hayam Wuruk telah membagi kerajaan menjadi dua yaitu di sebelah barat (Majapahit) diperintah oleh Wikramawarddhana dan kerajaan di timur (daerah Balambangan) diperintah oleh Wirabhumi, anak Hayam Wuruk dari istri selir. Wikramawarddhana adalah keponakan dan menantu Hayam Wuruk (Djafar, 1978). Dia naik tahta karena mengawini Kusumawarddhani, anak Hayam Wuruk dari parameswari. Dengan demikian Kusumawarddhanilah yang sebenarnya berhak atas tahta kerajaan karena sebagai putri mahkota.
Angka-angka tahun yang disebutkan dalam pararaton tentang peristiwa Paregreg tersebut ternyata sangat dekat bahkan ada yang sama dengan candra sengkala atau sengkalan memet yang dipahatkan pada relief-relief di Situs Sawentar Kidul tersebut. Tahun 1318 Ç yang tersirat dalam sengkalan “Nagaraja anahut surya” sangat dekat pertaliannya dengan awal terjadinya peristiwa Paregreg yang menurut Pararaton mulai tahun 1323 Ç. Jadi kemungkinan sebelum mulai peristiwa Paregreg telah didahului dengan peristiwa-peristiwa yang berkaitan dengan upaya perebutan tahta tersebut. Atau kemungkinan lain, angka tahun itu justru menunjuk tahun dimulainya peristiwa Paregreg. Kemungkinan tahun yang disebut oleh penulis Pararaton kurang tepat, mengingat penulisan Pararaton jauh setelah peristiwa itu berlangsung (sekitar abad XVII M), sedangkan Candi Sawentar Kidul yang memuat sengkalan “Nagaraja anahut surya” berasal dari tahun 1358 Ç (1436 M). Jadi Candi Sawentar Kidul didirikan 40 tahun setelah peristiwa Paregreg
terjadi. Tahun 1328 Ç yang tersirat dalam sengkalan memet “Ganeça inapit mong anahut Surya” sama dengan tahun berakhirnya Paregreg yaitu saat terbunuhnya Bhre Wirabhumi, yang menurut Pararaton berbunyi “Nagalara anahut wulan” (Djafar, 1978).
Apabila diamati dari makna penggambaran naga yang mengenakan mahkota, sangat mungkin hal itu merupakan simbolisasi seorang raja yang marah, dan digambarkan sedang berusaha menelan matahari. Matahari yang dicaplok naga raja tersebut merupakan simbolisasi dari kekuasaan Kerajaan Majapahit yang sedang dicabik-cabik untuk diruntuhkan. Sebab matahari yang digambarkan pada panil itu adalah “Surya Majapahit” yang merupakan lambang kebesaran Kerajaan Majapahit. Dengan demikian penggambaran “Nagaraja anahut Surya” adalah untuk menggambarkan adanya upaya-upaya untuk meruntuhkan kekuasaan Majapahit melalui perebutan tahta oleh Wirabhumi terhadap kekuasaan Wikramawarddhana. Gambaran perebutan kekuasaan antar keluarga raja-raja Majapahit ini lebih diperjelas dengan adanya relief-relief berikut yang menggambarkan dua ekor kuda sedang berkejaran dan dua ekor kuda sedang berebut bola.
Relief ini kemungkinan menggambarkan dua bersaudara yang sedang berebut kekuasaan. Hal yang lebih memperkuat bahwa relief-relief itu menggambarkan peristiwa perang adalah adanya relief Ganeça yang sedang diapit dua ekor harimau. Selain sebagai dewa ilmu pengetahuan Ganeça juga sebagai dewa perang. Ganeça yang digambarkan dalam relief tersebut kemungkinan sebagai dewa perang, sebab tampak sekali Ganeça tersebut sangat atraktif sedang menggigit matahari dan siap mengayunkan kapaknya.
Candra sengkala atau sengkalan memang sering digunakan sebagai peringatan tentang kejadian atau peristiwa yang khusus, seperti berdirinya kerajaan, kenaikan tahta raja, kelahiran, peperangan, serta peristiwa lainnya (Suwatno, 1998/1999). Jika hal ini benar berarti Candi Sawentar Kidul didirikan oleh Suhita untuk memperingati peristiwa upaya perebutan tahta (Paregreg) yang terjadi pada masa pemerintahan ayahnya. Peristiwa itu tergambar dalam panilpanil relief, dua di antaranya sebagai sengkalan memet yang menggambarkan kronologi terjadinya peristiwa tersebut. Jadi pendirian bangunan suci Sawentar Kidul adalah untuk memperingati peristiwa yang telah terjadi 40 tahun lalu sebelum bangunan itu didirikan.
DAFTAR PUSTAKA
Djafar, Hasan. Girindrawarddhana, Beberapa Masalah Majapahit Akhir, cetakan kedua, Jakarta: Yayasan Dana Pendidikan Nalanda, 1978.
Hadiwijono, Harun. Agama Hindu dan Buddha, Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1975.
Heekeren, H.R. van. Penghidupan dalam zaman Prasejarah di Indonesia, Terj. Amir Sutarga, Jakarta: Soeroengan, 1960.
Kempers, A.J. Bernet. Ancient Indonesian Art, Amsterdam: Harvard University Press, 1959.
Krom, N.J. Hindoe-Javaansche Geschiedenis. Tweede herziene druk, ‘s Gravenhage: Martinus Nijhoff, 1931.
Padmapuspita, J. Pararaton, Yogyakarta: Taman Siswa, 1966.
Soekmono. Tjatatan-tjatatan tentang Monumen-monumen Indonesia Purba, Kesenian Indonesia Purba, New York: Franklin Book Program,Inc., 1972.
_________. Candi Fungsi dan Pengertiannya, Semarang: IKIP Semarang Press, 1977.
_________. Lokal Genius dan Perkembangan Bangunan Sakral di Indonesia, dalam Ayatrohaedi, Kepribadian Budaya Bangsa (Local Genius). Jakarta: Pustaka Jaya, 1986.
Soekmono dan Inajati A.R. Peninggalan-peninggalan Purbakala masa Majapahit, dalam 700 Tahun Majapahit, Suatu Bunga Rampai, Dinas Pariwisata Daerah Tingkat I Provinsi Jawa Timur, 1993.
Stutterheim, W.F. The Meaning of the Hindu Javanese Candi, Journal of the American Oriental Society, vol.51, Pensylvania: Pensylvania University, 1931.
Suwatno, Edi. Perspektif Budaya Candrasengkala, Kebudayaan, Nomor 16 Tahun VIII, 1998/1999, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.
Wikipedia Indonesia, Ensiklopedia Bebas Berbahasa Indonesia.