Jumat, 04 Juni 2010

Sekilas P. Sambernyawa1

Dalam pemerintahan Susuhunan Pakubuwono II ini muncul-lah 2 tokoh nasional yang gagah berani, kuat dan ulet lahir batinnya, mampu menggerakkan seluruh tanah Jawa dan Banten sampai Madura dan membuat pusing kepala kompeni Belanda selama 10 tahun, terus menerus, dua orang tokoh itu ialah :
Pangeran Mangkubumi, Putera Sinuwun Amangkurat IV di Kartasura, yang akhirnya menjadi Sultan Hamengkubuwono I di Yogyakarta.
Pengeran Mangkunegara, Sambernyawa, cucu Sinuwun Amangkurat IV di Kartasura.

Nasib buruk dimasa kecil Pangeran Sambernyawa
Pangeran Sambernyawa itu nama kecilnya R.M Sahid, putera Pangeran Mangkunegara Kendang. Ibunya bernama R. Ay. Wulan, puteri Pangeran Blitar. Pangeran Mangkunegara Kendang itu putera Sinuwun Amangkurat IV di Kartasura yang sulung. Beliau ini saudara sepupu R.Ay. wulan, Beliau dilahirkan dari seorang garwa- selir Amangkurat IV bernama R. Ay. Sumanarsa atau R. Ay Kulo yang disebut R. Ay, Sepuh, berasal dari desa Keblokan, tanah lor ( Wanagiri ). Di dalam lingkungan Keraton Kartasura beliau disebut Pangeran Mangkunagara Kendang, oleh karena beliau dikendangkan yaitu diasingkan atau dibuang ke Kaapstad, Afrika Selatan, sampai wafatnya, kemudian jenazahnya dimakamkan di Astana Imagiri, Yogyakarta. R.M Sahid lahir pada tanggal, 7 April 1726 di Kartasura. Nama Sahid itu pemberian dari neneknda Amangkurat IV, beberapa waktu sebelum wafat. Maksud pemberian nama Sahid itu ialah bahwa Sri Sunan masih menyaksikan lahirnyacucunda yang terakhir dalam masa hidupnya.
Di masa kecilnya R. Sahid mengalami penderitaan hidup yang sangat berat. Ketika berusia 3 tahun, beliau kehilangan ibunya, karena pulang ke rahmatullah. Tahun berikutnya beliau ditinggalkan oleh ayahnya, karena sang ayah atas perintah Pakubuwuno II di Kartasura disingkirkan dari ibu kota kerajaan Mataram ke Betawi, dan 3 tahun kemudian " Dikendangkan " ke Kaaspstad seumur hidup. R.M Sahid dan beberapa adiknya dibawa ke Keraton sebagai anak piatu, dan mendapat pendidikan, perlakuan dan pengalaman yang akibatnya menyudutkan beliau kepada : prihatin dan sakit hati.
Setelah beliau mencapai usia remaja, diangkat sebagai pegawai keraton dengan pangkat Mantri Gandek Anom dengan sebutan dan nama R.M Suryakusuma dan diberi " Gaduhan " ( hak pakai ) sawah di Ngawen seluasa 50 jung ( =200 bahu ). Dua orang adiknya bernama R.M Ambiya dan R.M Sabar juga diangkat menjadi Mantri Gandek Anom berturut- turut dengan gelar dan nama : R.M Martakusuma dan R.M Wiryakusuma, masing-masing diberi gaduhan tanah seluas 100 bahu.

Mulai berjuang
Dengan meningkatnya usia dan kesadarannya, maka R.M suryakusuma ( Sahid ) merasakan nasibnya yang buruk menjadi berat. Perlakuan tidak adil dan sewenang-wenang yang dikenakan kepada ayahnya ( almarhum Pangeran Mangkunagara Kendang ) menggigit jantung pemuda R.M Suryakusuma. Akhirnya beliau mengambil keputusan : mau berontak, menentang pemerintahan Pakubuwono II, untuk merebut bagian dari kerajaan Mataram bagi diri pribadi.
Beliau mengambil dua orang pembantu utama yang merupakan bahu kiri dan kanannya, ialah :
Wiradiwangsa, pamannya sendiri berasal dari Laroh.
Sutawijaya, anak almarhum Tumenggung Wirasuta yang tidak dapat mengganti kedudukan ayahnya, tetapi menerima banyak uang dan harta benda peninggalan ayahnya.
Pemuda-pemuda Kartasura yang menggabungkan diri pada gerakan R.M Sahid, mula-mula ada 18 orang. Atas nasehat ki Wiradiwangsa, maka R.M Sahid beserta pembantu- pembantunya dan pemuda pemuda pengikutnya berpindah ke Tanah Laroh, yaitu asal leluhur R.M sahid dari pihak neneknya bernama R. Ayu Sumanarsa. Disini beliau mendapat simpati dari pihak rakyat sehingga dalam waktu yang tidak lama beliau mempunyai pengikut banyak sekali. Segera diadakan peraturan secara organisasi perjuangan yang baik dan praktis, demikian : R.M Sahid menjadi pemimpin utama, Ki Wiradiwangsa diangkat menjadi pepatihnya, diberi gelar dan nama Kyai Ngabehi Kudanawarsa dan R.M Sutawijaya menjadi pemimpin pasukan tempur, diberi gelar dan nama Kyai Ngabehi Rangga Panambangan.
Pemuda-pemuda berasal dari Kartasura yang semula 18 orang banyaknya, kemudian bertambah menjadi 24 orang, merupakan barisan inti, disebut " Punggawa ". Namanya diganti semua menjadi nama dengan permulaan : " Jaya " misalnya Jaya Panantang, Jaya Pamenang, Jaya Prawira dsb. " Jaya " artiny = sakti atau menang.
Tiap hari diadakan latihan perang, cara menyerang, menangkis dan membela diri. Tiap malam diadakan bermacam- macam latihan rohani misalnya : Menyepi di tempat-tempat yang gawat dan keramat, bertirakat, bertarak brata, mohon kepada Tuhan agar tercapai cita- citanya : ada pula yang merendam diri di sendang atau di dalam lubuk yang angker. Para pengikut R.M Sahid itu semua juga digembleng jiwa dan semangatnya dengan diberi wejangan-wejangan oleh para kyai antara lain oleh kyai Nuriman, modin di Laroh. Dengan demikian para pengikut R.M Sahid dalam waktu beberapa bulan saja sudah merupakan pasukan tempur yang digembleng jiwa raganya, sedang jumlahnya tidak sedikit. Mereka semua bersemangat tinggi, ingin selekas mungkin diajukan ke medan pertempuran. Dan kesempatan yang dinanti-nantikan mereka itu segera datang juga, ialah dengan adanya : Geger Pacina.

Geger Pacina
Pada bulan juli 1742 M terjadilah peristiwa " geger Pacina " di karaton Kartasura. Dalam waktu satu malam saja istana Kartasura sudah dapat direbut oleh pasukan Cina-Jawa dibawah pimpinan R.M Garendi, cucu Sunan Amangkurat Mas III yang telah diasingkan oleh kompeni Belanda ke pulai Sailan pada tahun 1708 M. R.M Garendi tersebut oleh para pengikutnya diangkat sebagai raja Mataram yang syah, dengan gelar dan nama Sunan Amangkurat IV.
Sunan Pakubuwono melarikan diri, mengungsi ke Ponorogo. Dari sini beliau minta bantuan kompeni di Jakarta. Bala bantuan segera datang dari Madura dibawah pimpinan P. Cakraningrat IV. Dalam bulan Desember 1742 Sunan Kuning, demikian nama julukan Sunan Amangkurat V, beserta semua pengikutnya diusir dari keraton Kartasura, lalu berpindah ke desa Randulawang, daerah Mataram.

Bergabung dengan Sunan Kuning.
RM. Said dengan seluruh pasukannya bergabung dengan Sunan Kuning untuk mempraktekkan kecakapannya berperang bahkan diangkat menjadi panglima tentara Sunan Kuning bahkan diberi gelar Panglima Prang Wadana (April 1743 ).
Kala itu usia beliau 17 tahun. Pada saat Sunan Kuning dikejar tentara Kompeni dan terpaksa bergeser kedaerah Keduang - Ponorogo - Madiun - Caruban. R.Said mengikuti perjalanan Sunan Kuning lalu berpisah di Caruban kemudian Sunan Kuning bergerak ke Jawa Timur bergabung dengan keturunan Untung Suropati namun tak lama kemudian menyerah pada Kompeni dan berakhirlah geger pacinan tersebut.
Adapun P. Prang Wardana ternyata mempunyai cita-cita lain dari Caruban beliau menuju ke barat menuju daerah Sukowati dimana oleh masyarakat setempat dia diangkat sebagai pimpinan dengan gelar Pangeran Adipati Anom Amangkunegoro Senopati Ing Ngalogo Sudibianing Prang. Lalu bergerak terus ke Panambangan melalui Jati Rata, Mateseh dan Segawe. Namun disini beliau tidak kuat menghadapi serangan pasukan P. Mangkubumi atas perintah Paku Buwono II yang telah bertahta di Kartasura.
Dalam babat giyanti (Pujangga Yasadipura I), ketika RM. Sahid menobatkan diri sebagai raja Jawa dengan gelar Sunan Adiprakosa Senopati Ngayuda Lelana Jayamisesa Prawira Adiningrat, serta duduk disinggasana dan dihadapan bala tentaranya tersambar petir dan terkena dampar tahtanya hingga remuk beliau jatuh pingsan di atas lantai namun tidak wafat hal ini tidak masuk akal jikalau ada seorang duduk diatas kursi lalu disambar petir seharusnya beliau pun ikut hancur. Dalam peristiwa tersebut Kyai Tumenggung Kuda Nawarsa segera menolongnya dan menunjukkan mengapa ini bisa terjadi, yaitu : kesombongan beliau atas pemberian gelar raja Jawa yang sebetulnya belum selayaknya disandang dengan kenyataan inilah dia berganti gelar Pangeran Arya Mangkunegoro (1746).
Kejadian tersebut disusul dengan peristiwa dimana markas besarnya di Panembangan diserbu dan diduduki Kompeni yang dipimpin Mayor Van Hohendorff serta patih Pringgolaya dari Paku Buwono II bahkan begeser ke Ngepringan - Pideksa - Tirtamaya - Keduang - Girimarta - Nggabayan - Druju - Matesih - hingga sampai didesa padepokan Samakaton bahkan waktu di daerah Ngepringan sang pangeran hampir terbunuh bahkan sempat berpisah dari keluarga dan pasukannya mendaki bukit dan turun gunung bersama Kyai Kuda Nawarsa dan Kyai Surawijaya. Di Pedepokan Samakaton tinggal 2 pertapa kakak beradik namanya Ki Ajar Adisana dan Ki Ajar Adirasa. Beliau berguru pada keduanya dan diberi wejangan yang intinya:
Kyai guru tersebut menunjuk kesalahan Pangeran Mangkubumi atas kesombongannya
Kedua beliau mendapat hukuman dai Ilahi
Beliau harus bertobat secara mendalam
Beliau hendaknya mencontoh Panembahan Senopati Ing Ngelogo Mataram dan pada Pamannya Pangeran Mangkubumi
Beliau diuji menjalankan laku - dan bertapa selama 7 hari-malam tanpa makan dan minum seorang diri di Gunung Mangadeg.
Menurut Babat Giyanti dalam pertapaannya terjadi sesuatu keajaiban yaitu mendapat pusaka secara gaib berupa satu tombak vaandel yang bernama Kyai Buda dan satu kerangka tambur bernama Kyai Slamet yang menunjukkan simbol kejayaan.
Dibagian lain Pujangga Yasadipura I memaknakan fenomena di Samakaton ini dengan mengkiaskan maksud pendidikan moral - mental yaitu :
1 . satu Samakaton
2 . Adisana
3 . Adirasa
4 . Mangadeg
5 . Vaandel(tombak)
6. Kerangka tambur, artinya adalah :
Samakaton artinya kesemua hal dapat terlihat apabila manusia mau datang menyepi di tempat yang indah, yaitu
Adisana artinya tempat yang indah, apabila manusia berani laku menyepi di tempat yang indah itu akan mendapatkan rasa yang indah pula yang akhirnya menimbulkan kemurnian dihati nuraninya

BUDAYA LOKAL Sebagai Warisan Budaya dan Upaya Pelestariannya

Masyarakat terbentuk melalui sejarah yang panjang, perjalanan berliku, tapak demi tapak, trial and error. Pada titik-titik tertentu terdapat peninggalan-peninggalan yang eksis atau terekam sampai sekarang yang kemudian menjadi warisan budaya. Warisan budaya, menurut Davidson (1991:2) diartikan sebagai ‘produk atau hasil budaya fisik dari tradisi-tradisi yang berbeda dan prestasi-prestasi spiritual dalam bentuk nilai dari masa lalu yang menjadi elemen pokok dalam jatidiri suatu kelompok atau bangsa’. Jadi warisan budaya merupakan hasil budaya fisik (tangible) dan nilai budaya (intangible) dari masa lalu.

Nilai budaya dari masa lalu (intangible heritage) inilah yang berasal dari budaya-budaya lokal yang ada di Nusantara, meliputi: tradisi, cerita rakyat dan legenda, bahasa ibu, sejarah lisan, kreativitas (tari, lagu, drama pertunjukan), kemampuan beradaptasi dan keunikan masyarakat setempat (Galla, 2001: 12) Kata lokal disini tidak mengacu pada wilayah geografis, khususnya kabupaten / kota, dengan batas-batas administratif yang jelas, tetapi lebih mengacu pada wilayah budaya yang seringkali melebihi wilayah administratif dan juga tidak mempunyai garis perbatasan yang tegas dengan wilayah budaya lainnya. Kata budaya lokal juga bisa mengacu pada budaya milik penduduk asli (inlander) yang telah dipandang sebagai warisan budaya. Berhubung pelaku pemerintahan Republik Indonesia adalah bangsa sendiri, maka warisan budaya yang ada menjadi milik bersama. Ini berbeda situasinya dengan Negara Australia dan Amerika yang warisan budayanya menjadi milik penduduk asli secara eksklusif sehingga penduduk asli mempunyai hak untuk melarang setiap kegiatan pemanfaatan yang akan berdampak buruk pada warisan budaya mereka (Frankel, 1984).

Rabu, 21 Oktober 2009

RELIEF PADA CANDI SAWENTAR KIDUL KARYA SENI KRIYA ABAD KE-15 M YANG SARAT MAKNA


I. PENDAHULUAN
Kriya adalah kegiatan seni yang menitikberatkan kepada keterampilan tangan dan fungsi untuk mengolah bahan baku yang sering ditemukan di lingkungan menjadi benda-benda yang tidak hanya bernilai pakai, tetapi juga bernilai estetis (Wikipedia). Ungkapan karya seni kriya pada setiap jaman mempunyai gaya tersendiri yang dapat mencirikan hasil karya itu sendiri. Namun hasil karya seni kriya pada masa Hindu-Buddha di Indonesia tidaklah sekedar bernilai estetis semata, tetapi juga mengandung makna simbolis berkaitan dengan religi yang berkembang pada masa itu.
Sebuah candi yang terbuat dari batu andesit, batu putih, maupun bata akan tampak kaku dan kurang estetis tanpa kehadiran seni kriya. Karya seni kriya pada candi mengisi bidang-bidang kosong yang terdapat pada komponen candi baik di bagian atap, tubuh, maupun kaki candi. Reliefrelief yang dipahatkan pada atap, tubuh dan kaki candi membuat candi yang tadinya tampak kaku menjadi sangat indah. Relief-relief itu dapat berupa hiasan dekoratif semata dan dapat berupa relief-relief yang menggambarkan adegan cerita di samping juga mengandung makna simbolis.
Salah satu relief candi yang mempunyai makna simbolis adalah relief pada Candi Sawentar Kidul. Candi Sawentar Kidul adalah sebuah kompleks candi yang ditemukan di Dukuh Centong, Desa Sawentar, Kecamatan Kanigoro, Kabupaten Blitar. Candi ini didirikan tahun 1358 Ç (1436 M), yang diketahui dari angka tahun pada ambang pintu salah satu miniatur candi pada gugusan utara. Situs candi ini ditemukan oleh Sugeng Ahmadi dan kawan-kawan ketika sedang menggali sumur untuk fasilitas pasar Desa Sawentar pada tahun 1999.

II. CANDI SAWENTAR KIDUL ARSITEKTUR PERALIHAN PADA ABAD 15 M
Penelitian selama enam tahap yang telah dilakukan Balai Arkeologi Yogyakarta di situs Candi Sawentar Kidul telah berhasil mengungkap denah bangunan dan pagar halaman candi. Pagar halaman terbuat dari bata berbentuk empat persegi panjang dengan luas 29,70 x 38,80 m². Halaman seluas itu terbagi menjadi dua bagian, halaman utara dengan luas 21, 30 x 29,70 m² dan halaman selatan dengan luas 17,50 x 29,70 m². Masing-masing halaman mempunyai pintu gerbang di sebelah barat.

Halaman utara lebih tinggi dari halaman selatan, yang tampak dari perbedaan ketinggian masingmasing ambang pintu bawahnya dan perbedaan ketinggian dasar dinding pagar halaman utara dengan dinding pagar halaman selatan.
Pada masing-masing halaman ditemukan sebuah gugusan candi yang sebagian besar terbuat dari batu andesit dan sebagian lagi terbuat dari bata. Gugusan candi di halaman utara terdiri dari dua buah batur berdenah empat persegi panjang berjajar melintang utara-selatan. Batur di sebelah timur terbuat dari batu andesit, di atasnya terdapat dua buah pondasi bangunan berdenah bujursangkar. Batur di sebelah barat juga berdenah empat persegi panjang. Pada bagian luar batur terbuat dari batu andesit, tetapi bagian dalamnya terbuat dari bata. Di atas batur tidak terdapat bangunan apapun. Di sebelah baratnya terdapat dua buah pondasi bangunan dari bata berbentuk bujursangkar. Bangunan ini berukuran kecil dan tinggal dua lapis bata saja. Di halaman selatan gugusan candinya hampir sama bentuk dan ukurannya dengan gugusan candi di halaman utara, yang berbeda hanya pada batur-baturnya. Batur sisi timur berbentuk bujursangkar yang berdiri sendiri-sendiri, masing-masing menyangga pondasi bangunan yang di atasnya terdapat bangunan berbentuk kubus dengan masing-masing dindingnya terdapat relief binatang.
Secara vertikal bentuk bangunan di halaman utara adalah paling bawah berupa batur panjang (soubasement), di atas batur tersebut terdapat dua buah pondasi, di atas masing-masing pondasi terdapat bangunan berbentuk kubus dengan panil-panil berelief binatang, dan susunan paling atas adalah miniatur candi. Bentuk miniatur candi itu mirip dengan miniatur candi di halaman depan Candi Panataran. Bentuk bangunan di halaman selatan secara vertikal sama dengan bangunan di halaman utara. Perbedaannya hanya pada baturnya, di halaman selatan dua buah bangunan miniatur candi itu berdiri di atas dua buah batur yang terpisah.
Miniatur candi di halaman Candi Panataran

Perkembangan arsitektur bangunan suci pada masa klasik tidak bisa dipisahkan dari perkembangan keagamaan yang terjadi pada waktu itu. Sebab hasil-hasil budaya waktu itu selalu dihubungkan dengan keagamaan yang dianutnya. Oleh karena itu, untuk memahami perkembangan arsitektur terlebih dahulu harus mengetahui perkembangan keagamaan pada waktu itu.
Abad ke-15 M merupakan masa-masa akhir Kerajaan Majapahit. Pada masa itu Majapahit mengalami masamasa suram, di dalam pemerintahan banyak terjadi intrikintrik dan perebutan kekuasaan antar keluarga. Banyak perubahan yang terjadi dalam bidang keagamaan.
Perubahan-perubahan itu juga terjadi pada arsitektur bangunan-bangunan suci. Dari sumbersumber prasasti, bangunan, serta kesusasteraan pada jaman Majapahit dipandang sebagai puncak sinkretisme agama Hindu dan Buddha. Proses penyatuan agama Hindu dan Buddha itu sebenarnya sudah ada sejak jaman Jawa Tengah kemudian memuncak pada jaman Jawa Timur.
Antara Dewa Çiwa dengan segala penjelmaannya dan Buddha dengan segala penjelmaannya dianggap tidak ada lagi perbedaan (Hadiwijono, 1975: 96-97).
Selain adanya sinkretisme agama Hindu dan Buddha yang menonjol pada masa Jawa Timur, tampak pula unsur-unsur Indonesia asli pada hasil-hasil seni Hindu dan Buddha. Dalam seni bangunan, susunannya tidak lagi memusat melainkan berderet ke belakang. Menurut Soekmono (1986: 237-238) susunan tersebut merupakan proyeksi datar dari susunan vertikal dengan tujuan pengarahan perhatian ke lokasi nenek moyang di gunung-gunung. Arca-arca – terutama jaman Majapahit – tampak kaku tanpa ekspresi. Hal ini dimaksudkan untuk menggambarkan seseorang yang telah meninggal. Menurut Stutterheim (1931: 6) sifat-sifat arca yang kelihatan seperti mumi itu kemungkinan menunjukkan potret seorang raja. Arca-arca demikian menggambarkan arca perwujudan leluhur. Relief-relief cerita yang dipahatkan pada candi tidak lagi bercorak naturalis melainkan simbolis, yaitu gepeng menyerupai bentuk wayang kulit.
Corak demikian merupakan ciri khas Indonesia. Penggambaran tokoh dengan bentuk tubuh pipih yang digambarkan tampak depan, kepala dan kaki menghadap ke samping, bentuk tokoh yang menyeramkan serta pengiring-pengiringnya yang berbentuk jelek menunjukkan sifat-sifat bentuk wayang yang merupakan gambaran dari dunia arwah (Kempers,1959: 23). Munculnya unsur-unsur Indonesia asli itu tentunya berhubungan dengan perkembangan keagamaan yang terjadi pada masa itu, sebab pada kenyataannya hasil-hasil seni tersebut memang bernafaskan keagamaan.
Pada seni bangunan unsur pemujaan leluhur dapat dilihat dari susunan bangunannya yang berteras-teras ke belakang seperti punden berundak, misalnya seperti Candi Sukuh di lereng Gunung Lawu dan punden-punden di lereng Gunung Penanggungan. Bangunan-bangunan tersebut merupakan bangunan yang didirikan pada masa Hindu tetapi mempunyai unsur-unsur pemujaan leluhur. Pada masa prasejarah punden berundak berfungsi sebagai tempat pemujaan arwah leluhur. Kata punden berarti tempat memundi atau memuja, sedangkan berundak artinya berteras. Istilah ini diberikan kepada bangunan yang mempunyai fungsi sebagai tempat pemujaan – khususnya pemujaan terhadap arwah leluhur (Heekeren, 1960: 76).
Menurut Soekmono (1977: 241) candi adalah kuil tempat pemujaan dewa. Di tempat itu orang berbakti kepada dewa, oleh karena itu benda terpenting untuk pemujaan adalah patung yang melukiskan dewa itu. Menurut kosmologi India, tempat bersemayam para dewa yang sesungguhnya adalah puncak Gunung Mahameru – gunung kosmis bangsa India. Dengan demikian candi merupakan pencerminan atau simbol tempat tinggal dewa-dewa itu atau merupakan replika Gunung Mahameru. Candi juga merupakan simbolisasi alam semesta.
Pembagian bangunan ke dalam tiga bagian yaitu kaki , tubuh, dan atap sesuai dengan lingkungan alam semesta yang terdiri atas bhurloka (lingkungan para makhluk yang masih bisa mati), bhuvarloka (lingkungan manusia yang sudah disucikan), dan svarloka (lingkungan para dewa) (Soekmono, 1972: 15). Sebagai replika Gunung Mahameru atau replika kosmos (alam semesta), candi harus didirikan di lingkungan yang suci. Oleh karena itu suatu tempat yang akan dipakai untuk mendirikan candi harus disucikan lebih dahulu. Tempat itu kemudian diberi tanda dengan sembilan patok, satu di pusat lainnya pada keempat sudutnya serta pada tengah sisi-sisinya.
Selanjutnya di halaman itu didirikan candi. Halaman candi kemudian dinyatakan dengan tembok keliling (Soekmono, 1977: 232-235). Halaman di dalam kompleks candi merupakan lingkungan yang suci, sedangkan pagar merupakan batas pemisah dengan dunia profan (Kempers, 1959: 20).
Kompleks percandian Jawa Tengah dengan titik utamanya di tengah kompleks, secara lengkap telah memberi kesan sebagai replika kosmos (gunung kosmos). Bangunan-bangunan suci di Jawa Timur yang susunannya dihubungkan dengan gunung-gunung yang berada di luar kompleksnya belumlah lengkap tanpa gunung yang menjadi latar belakangnya. Pada masa kemudian bangunan-bangunan seperti Candi Sukuh dan punden-punden Penanggungan ditempatkan di lereng-lereng gunung, suatu tempat yang sudah dianggap suci. Oleh karena itu, bangunan-bangunan itu tidak lagi memerlukan pagar keliling yang berfungsi sebagai pemisah dengan dunia profan. Jika konsep candi sebagai replika kosmos diterapkan maka sebagai bhurloka adalah lingkungan hidup manusia sehari-hari dalam arti yang sebenarnya, sebagai bhuvarloka adalah kompleks bangunan suci itu, dan sebagai svarloka adalah puncak gunung yang menjadi pusat orientasinya. Pada kompleks Candi Sukuh dan Punden-punden di Gunung Penanggungan tidak dijumpai lagi bangunan seperti candi dengan kaki tubuh dan atap, melainkan bentuk altar yang bagian atasnya datar yang berfungsi sebagai tempat sesajian. Bagaimana dengan Candi Sawentar Kidul, masuk dalam kelompok mana? Candi Sawentar Kidul mempunyai bentuk arsitektur yang unik. Candi ini mempunyai dua halaman berundak ke utara yang berorientasi ke puncak Gunung Kelud. Gugusan bangunannya berorientasi ke barat yang diperkuat dengan adanya pintu masuk ke halaman di sebelah barat.
Sedangkan bentuk gugusan bangunannya juga unik karena tidak lagi berbentuk candi sebagaimana umumnya yang terdiri dari kaki, tubuh, dan atap, melainkan berupa sebuah batur (soubasement) yang di atasnya berdiri bangunan berbentuk kubus dengan relief-relief binatang di keempat dindingnya, dan di atasnya terdapat miniatur candi. Di depannya terdapat batur memanjang utara-selatan. Gugusan bangunan itu ada di halaman utara maupun halaman selatan
pada kuadrant timurlaut.
Sebagaimana telah diketahui bahwa Candi Sawentar Kidul mempunyai pagar bata yang membatasi dua halaman candinya. Kedua halaman candi mempunyai perbedaan ketinggian yang menunjukkan bahwa halaman utara kemungkinan lebih sakral dari halaman selatan. Apalagi di sebelah utara pada garis lurus terdapat Gunung Kelud yang kemungkinan menjadi pusat orientasi karena dianggap sakral sebagai tempat tinggal dewa. Dengan susunan halaman yang demikian, maka candi ini mempunyai orientasi khtonis (ke arah alam), yaitu ke arah Gunung Kelud. Hal ini sesuai dengan candi-candi atau bangunan suci di Jawa Timur yang belum lengkap sebagai replika kosmos jika tanpa gunung di luarnya. Dengan ditemukan dua buah pintu gerbang masuk ke halaman candi di pagar halaman sisi barat, menunjukkan bahwa candi ini juga mempunyai orientasi kosmis (ke arah mata angin yaitu ke barat). Bentuk bangunan-bangunan yang ada di dalam kompleks candi tidak lagi seperti bentuk candi pada umumnya yang terdiri dari kaki, tubuh, dan atap dengan ukuran besar, melainkan berupa bangunan-bangunan batur (soubasement), salah satu di antaranya terdapat bangunan-bangunan miniatur candi, yang berfungsi sebagai altar pemujaan. Bentuk candi diperkecil menjadi miniatur, sedangkan batur candi berubah menjadi altar.
Namun adanya pagar keliling menunjukkan bahwa candi itu belum menempati tempat suci karena masih didirikan di dataran rendah, belum di lingkungan gunung yang dianggap suci. Oleh karena itu, diperlukan pagar untuk membatasi lingkungan yang telah disucikan (halaman candi) dengan lingkungan di luarnya. Jadi kemungkinan kompleks Candi Sawentar Kidul ini merupakan peralihan dari bentuk candi yang mempunyai orientasi kosmis ke bentuk punden berundak yang mempunyai orientasi khtonis.

III. PANIL-PANIL RELIEF BINATANG PADA DINDING BANGUNAN MINIATUR CANDI
Relief yang terdapat pada kompleks Candi Sawentar Kidul tidak banyak. Relief tersebut terdapat pada dinding-dinding bangunan miniatur candi baik yang terdapat pada gugusan utara maupun gugusan selatan.
Gugusan bangunan utara

Masing-masing gugusan bangunan terdapat dua buah bangunan miniatur candi. Dengan demikian panil-panil relief tersebut seharusnya berjumlah 16 buah. Namun yang berhasil ditemukan hanya 10 buah panil, yaitu 5 buah panil di gugusan bangunan utara dan 5 buah panil di gugusan bangunan selatan. Hal ini disebabkan sebagian besar gugusan bangunan itu telah runtuh sehingga ada beberapa panil yang telah hilang atau masih terpendam tanah. Relief-relief yang terdapat pada dinding-dinding bangunan itu berupa relief binatang. Ada yang sekedar hiasan dekoratif untuk memenuhi kebutuhan estetika, ada juga yang mempunyai makna simbolik sebagai candra sengkala maupun yang berkaitan dengan kehidupan politik saat itu.
Pada gugusan bangunan utara seharusnya terdapat 8 buah panil relief, namun yang ditemukan baru 5 buah panil relief. Panil-panil relief itu antara lain relief naga bermahkota sedang menggigit matahari dan relief seekor kuda -- yang terdapat pada bangunan sebelah utara -- serta dua ekor kuda yang saling berkejaran, dua ekor kuda berebut bola (uang kepeng ?), dan Ganeça


diapit dua ekor harimau sedang menggigit matahari yang terdapat di bangunan sebelah selatan. Kepastian letak panil berrelief tersebut dapat diketahui dari temuan dua buah panil saat dilakukan ekskavasi. Salah satu panil masih terletak pada tempat kedudukannya (intact), yaitu yang bergambar seekor naga bermahkota sedang menggigit matahari. Panil satunya yang bergambar seekor kuda sudah terlepas dan tergeletak di tengah pondasi bangunan sebelah utara. Ketiga panil yang telah ditemukan terlebih dahulu oleh penduduk masing-masing bergambar Ganeça diapit dua ekor harimau sedang menggigit matahari, dua ekor kuda berkejaran, dan dua ekor kuda berebut bola kemungkinan terletak di bangunan sebelah selatan karena bentuk ketiga panil ini mempunyai sedikit perbedaan dengan dua panil terdahulu.
Lima panil yang telah ditemukan tersebut secara sepintas hampir sama bentuk dan ukurannya, akan tetapi jika diperhatikan lebih dalam ternyata dapat dibedakan dalam dua tipe.
Perbedaannya terletak pada bingkai (lis) yang membatasi reliefnya, tipe pertama panjang dan lebar batu lebih besar dari panjang dan lebar bingkai, sedangkan tipe kedua panjang batu lebih besar dari panjang bingkai tetapi lebar keduanya sama.
Pada gugusan bangunan selatan seharusnya juga terdapat 8 buah panil relief, tetapi yang ditemukan baru 6 buah panil relief. Enam buah panil relief ini seluruhnya masih terdapat pada tempat kedudukannya. Salah satu bangunan pada gugusan bangunan selatan yaitu bangunan di sebelah selatan relatif masih utuh sehingga keempat panil reliefnya masih menempel pada dinding bangunan. Separuh bangunan di sebelah utara sudah runtuh, sehingga panil reliefnya tinggal dua buah. Keenam panil relief yang terdapat di gugusan bangunan selatan ini masing-masing menggambarkan adegan seekor kuda dalam berbagai posisi.
Permasalahannya adalah maksud penggambaran relief-relief binatang tersebut, apakah merupakan simbolisasi dari suatu peristiwa tertentu ataukah sebagai hiasan dekoratif belaka?

IV. SENI KRIYA YANG SARAT MAKNA
Salah satu hasil penelitian situs Candi Sawentar Kidul ini adalah ditemukannya tiga angka tahun yang tertera pada komponen-komponen gugusan bangunan, baik berupa angka tahun maupun sengkalan memet (gambar). Angka tahun terdapat pada ambang pintu (relung) miniatur candi yang memuat angka tahun 1358 Ç atau tahun 1436 M. Sengkalan memet terdapat pada panil-panil relief yang salah satunya menggambarkan seekor naga bermahkota sedang menggigit
matahari yang dalam bahasa Jawa kuna berbunyi “Nagaraja anahut Surya” yang berarti tahun 1318 Ç atau tahun 1396 M. Panil relief lain yang kemungkinan juga merupakan sengkalan memet adalah relief yang menggambarkan Ganeça diapit dua ekor harimau, Ganeça tersebut ternyata juga sedang menggigit matahari. Dalam bahasa jawa kuna sengkalan itu berbunyi “Ganeça inapit mong anahut surya” yang berarti tahun 1328 Ç atau tahun 1406 M.
Dengan adanya tiga angka tahun yang berbeda pada satu gugusan bangunan ini
menimbulkan permasalahan, lebih-lebih ketiga angka tahun itu masing-masing dari yang paling tua hingga yang paling muda terpaut 10 tahun dan 30 tahun. Permasalahan tersebut adalah: angka tahun mana yang menunjukkan tahun pendirian bangunan, dan dua angka tahun lainnya menunjukkan peristiwa apa.
Pendirian sebuah candi biasanya bertalian erat dengan peristiwa meninggalnya seorang raja. Hal ini dapat diketahui dari keterangan-keterangan yang termuat dalam kitab Nagarakrtagama dan kitab Pararaton (Soekmono dan Inajati, 1993).
Nagaraja anahut Surya
Candi didirikan untuk mengabadikan “dharma”nya dan memuliakan rohnya yang telah bersatu dengan dewa penitisnya. Misalnya: Candi Jago merupakan tempat pendarmaan Raja Wisnuwardhana, Candi Singasari dan Candi Jawi untuk memuliakan Raja Kertanagara, dan Candi Simping untuk memuliakan Raja Kertarajasa. Selain sebagai tempat pendarmaan raja yang telah meninggal latar belakang peristiwa sejarah suatu kerajaan atau latar belakang naik tahtanya seorang raja tampaknya juga mengilhami pendirian suatu bangunan suci.
Angka tahun yang tertera di ambang pintu candi biasanya menunjukkan tahun pendirian candi, misalnya seperti yang terdapat di ambang pintu Candi Angka Tahun yang merupakan salah satu gugusan bangunan di kompleks Candi Panataran. Atas dasar itu, maka kemungkinan angka tahun yang tertera pada ambang pintu (relung) miniatur Candi Sawentar Kidul juga menunjukkan tahun pendirian bangunan tersebut. Jika benar tahun 1358 Ç (1436 M) merupakan tahun pendirian Candi Sawentar Kidul berarti bangunan tersebut didirikan pada masa pemerintahan Suhita di Majapahit, sebab ia memerintah dari tahun 1351 Ç sampai 1369 Ç (1429-1447 M) (Djafar, 1978; Krom, 1931).
Dua angka tahun lain yang berhasil diidentifikasi berupa sengkalan memet menunjukkan angka tahun 1318 Ç (1396 M) dan 1328 Ç (1406 M).
Ganeça inapit mong anahut surya

Kedua angka tahun ini menunjukkan kronologi yang lebih tua dari angka tahun di ambang pintu (relung) bangunan miniatur candi. Kedua angka tahun ini tampaknya tidak menunjukkan kronologi tahapan pembangunan candi, sebab selisih angka-angka tahun tersebut tidak sebanding dengan ukuran bangunan.
Kemungkinan lain, angka-angka tahun yang berujud sengkalan memet tersebut berkaitan dengan gambaran yang terdapat pada relief-relief itu sendiri. Namun untuk dapat mengkaitkannya harus memahami makna simbolik relief-relief itu, dan ditafsirkan bahwa gambar-gambar dalam relief itu menunjukkan kejadian suatu peristiwa. Yang jelas jika identifikasi angka-angka tahun itu benar berarti peristiwa itu terjadi pada masa sebelum Suhita naik tahta. Pada masa itu kekuasaan Majapahit masih berada di tangan Wikramawarddhana, ayah Suhita, yang memerintah tahun 1311-1351 Ç (1389-1429 M) (Djafar, 1978).
Menurut Pararaton, peristiwa besar yang terjadi pada masa pemerintahan Wikramawarddhana, yang nyaris meruntuhkan Majapahit adalah upaya perebutan tahta oleh Wirabhumi. Peristiwa perang saudara ini dikenal sebagai peristiwa Paregreg. Pada masa pemerintahan Wikramawarddhana telah terjadi pertentangan keluarga, antara Wikramawardhana yang memerintah wilayah bagian barat (Majapahit) dengan Bhre Wirabhumi yang memerintah bagian timur (daerah Balambangan). Perang Paregreg terjadi antara tahun 1323 – 1328 Ç (1401 – 1406 M) (Djafar, 1978).
Sepeninggal raja Hayam Wuruk dan Patih Amangkubhumi Gajah Mada Majapahit memang telah mengalami kesuraman dan muncul suatu masalah yaitu perebutan kekuasaan dan pertentangan keluarga mengenai hak waris atas tahta kerajaan. Sebelumnya Hayam Wuruk telah membagi kerajaan menjadi dua yaitu di sebelah barat (Majapahit) diperintah oleh Wikramawarddhana dan kerajaan di timur (daerah Balambangan) diperintah oleh Wirabhumi, anak Hayam Wuruk dari istri selir. Wikramawarddhana adalah keponakan dan menantu Hayam Wuruk (Djafar, 1978). Dia naik tahta karena mengawini Kusumawarddhani, anak Hayam Wuruk dari parameswari. Dengan demikian Kusumawarddhanilah yang sebenarnya berhak atas tahta kerajaan karena sebagai putri mahkota.
Angka-angka tahun yang disebutkan dalam pararaton tentang peristiwa Paregreg tersebut ternyata sangat dekat bahkan ada yang sama dengan candra sengkala atau sengkalan memet yang dipahatkan pada relief-relief di Situs Sawentar Kidul tersebut. Tahun 1318 Ç yang tersirat dalam sengkalan “Nagaraja anahut surya” sangat dekat pertaliannya dengan awal terjadinya peristiwa Paregreg yang menurut Pararaton mulai tahun 1323 Ç. Jadi kemungkinan sebelum mulai peristiwa Paregreg telah didahului dengan peristiwa-peristiwa yang berkaitan dengan upaya perebutan tahta tersebut. Atau kemungkinan lain, angka tahun itu justru menunjuk tahun dimulainya peristiwa Paregreg. Kemungkinan tahun yang disebut oleh penulis Pararaton kurang tepat, mengingat penulisan Pararaton jauh setelah peristiwa itu berlangsung (sekitar abad XVII M), sedangkan Candi Sawentar Kidul yang memuat sengkalan “Nagaraja anahut surya” berasal dari tahun 1358 Ç (1436 M). Jadi Candi Sawentar Kidul didirikan 40 tahun setelah peristiwa Paregreg
terjadi. Tahun 1328 Ç yang tersirat dalam sengkalan memet “Ganeça inapit mong anahut Surya” sama dengan tahun berakhirnya Paregreg yaitu saat terbunuhnya Bhre Wirabhumi, yang menurut Pararaton berbunyi “Nagalara anahut wulan” (Djafar, 1978).
Apabila diamati dari makna penggambaran naga yang mengenakan mahkota, sangat mungkin hal itu merupakan simbolisasi seorang raja yang marah, dan digambarkan sedang berusaha menelan matahari. Matahari yang dicaplok naga raja tersebut merupakan simbolisasi dari kekuasaan Kerajaan Majapahit yang sedang dicabik-cabik untuk diruntuhkan. Sebab matahari yang digambarkan pada panil itu adalah “Surya Majapahit” yang merupakan lambang kebesaran Kerajaan Majapahit. Dengan demikian penggambaran “Nagaraja anahut Surya” adalah untuk menggambarkan adanya upaya-upaya untuk meruntuhkan kekuasaan Majapahit melalui perebutan tahta oleh Wirabhumi terhadap kekuasaan Wikramawarddhana. Gambaran perebutan kekuasaan antar keluarga raja-raja Majapahit ini lebih diperjelas dengan adanya relief-relief berikut yang menggambarkan dua ekor kuda sedang berkejaran dan dua ekor kuda sedang berebut bola.
Relief ini kemungkinan menggambarkan dua bersaudara yang sedang berebut kekuasaan. Hal yang lebih memperkuat bahwa relief-relief itu menggambarkan peristiwa perang adalah adanya relief Ganeça yang sedang diapit dua ekor harimau. Selain sebagai dewa ilmu pengetahuan Ganeça juga sebagai dewa perang. Ganeça yang digambarkan dalam relief tersebut kemungkinan sebagai dewa perang, sebab tampak sekali Ganeça tersebut sangat atraktif sedang menggigit matahari dan siap mengayunkan kapaknya.
Candra sengkala atau sengkalan memang sering digunakan sebagai peringatan tentang kejadian atau peristiwa yang khusus, seperti berdirinya kerajaan, kenaikan tahta raja, kelahiran, peperangan, serta peristiwa lainnya (Suwatno, 1998/1999). Jika hal ini benar berarti Candi Sawentar Kidul didirikan oleh Suhita untuk memperingati peristiwa upaya perebutan tahta (Paregreg) yang terjadi pada masa pemerintahan ayahnya. Peristiwa itu tergambar dalam panilpanil relief, dua di antaranya sebagai sengkalan memet yang menggambarkan kronologi terjadinya peristiwa tersebut. Jadi pendirian bangunan suci Sawentar Kidul adalah untuk memperingati peristiwa yang telah terjadi 40 tahun lalu sebelum bangunan itu didirikan.
DAFTAR PUSTAKA
Djafar, Hasan. Girindrawarddhana, Beberapa Masalah Majapahit Akhir, cetakan kedua, Jakarta: Yayasan Dana Pendidikan Nalanda, 1978.
Hadiwijono, Harun. Agama Hindu dan Buddha, Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1975.
Heekeren, H.R. van. Penghidupan dalam zaman Prasejarah di Indonesia, Terj. Amir Sutarga, Jakarta: Soeroengan, 1960.
Kempers, A.J. Bernet. Ancient Indonesian Art, Amsterdam: Harvard University Press, 1959.
Krom, N.J. Hindoe-Javaansche Geschiedenis. Tweede herziene druk, ‘s Gravenhage: Martinus Nijhoff, 1931.
Padmapuspita, J. Pararaton, Yogyakarta: Taman Siswa, 1966.
Soekmono. Tjatatan-tjatatan tentang Monumen-monumen Indonesia Purba, Kesenian Indonesia Purba, New York: Franklin Book Program,Inc., 1972.
_________. Candi Fungsi dan Pengertiannya, Semarang: IKIP Semarang Press, 1977.
_________. Lokal Genius dan Perkembangan Bangunan Sakral di Indonesia, dalam Ayatrohaedi, Kepribadian Budaya Bangsa (Local Genius). Jakarta: Pustaka Jaya, 1986.
Soekmono dan Inajati A.R. Peninggalan-peninggalan Purbakala masa Majapahit, dalam 700 Tahun Majapahit, Suatu Bunga Rampai, Dinas Pariwisata Daerah Tingkat I Provinsi Jawa Timur, 1993.
Stutterheim, W.F. The Meaning of the Hindu Javanese Candi, Journal of the American Oriental Society, vol.51, Pensylvania: Pensylvania University, 1931.
Suwatno, Edi. Perspektif Budaya Candrasengkala, Kebudayaan, Nomor 16 Tahun VIII, 1998/1999, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.
Wikipedia Indonesia, Ensiklopedia Bebas Berbahasa Indonesia.

Rabu, 16 September 2009

in the arm of the Angel

in the arm of the Angel

Angel, pesona tubuh beserta wajah rupawanmu memang menggoda, merasuk dalam sekat-sekat relung hati, membawa rindu di keremangan-keremangan malam yang sendu. Jomblo begitulah orang selalu menuduhku, seorang jomblo dengan never ending love disorder yang menjadi motto sebuah keluarga tak bertuan di dunia antah berantah. Bertelanjang harap kau mencoba hadir, kadang senyap kadang hingar bingar. Tak menentu namun bagaimanapun jomblonya tetap saja aku mengenali cahaya di matamu, sebuah cahaya penuh harap, cahaya peluang dan rongga waktu yang seakan tak terbatas. Hai Angel, mengapa kau ingin hadir untuk menyiram kering kerontangnya ruangan yang selalu kututupi dengan sejuta pesona ini. Tiada pernah kau lelah, setiap waktu baik dalam dimensi nyata maupun dalam dimensi harap, seakan kau datang bertubi-tubi menyerangku, bagai seorang malaikat yang ingin menyelamatkanku dari rengkuh keangkuhan sebuah batu pualam bernama kasih. Kadang harus kuberontak karena sakit, betapa batu pualam bernama kasih itu semakin berlubang karena tetes harap darimu.

Mengapa Angel?, haruskah kudendangkan Losing my religionnya "RAM", begitu jauh nuansa kerohanian kita meskipun aku hanya katanya syariah Islam sebagai sebuah peribahasa dalam kartu tanda pendudukku. Bukan hanya hitungan hari dan bulan, bahkan dalam edaran bumiku mengitari surya, betapa hatimu bagaikan malaikat, seorang cantik jelita berhati malaikat bernama Angel. Berkulit putih bercahaya berwajah bulat telur berambut panjang dengan dua mata jernih mengapit hidung mbangirmu, aduhai betapa sempurna bagai malaikat tak punya dosa dan salah, betapa ku menjadi semakin terpuruk, terpuruk dalam harap meski tak pernah dapat kukatakan walau lirih bahwa aku mencintaimu dengan segenap gunung dan banjir lava dalam alam nuraniku, oh betapa beratnya menahan untuk tidak mengucapkannya, saat menatap mata dan ketika bibir ini beradu, entah iblis apa yang mencegahnya.

Mengapa belum kuat diriku untuk mencoba lolos dari himpitan ideologi itu, betapa sekat itu mengatakan ada bahaya besar ketika aku lolos dan tak kuat mengatakannya. Betapapun begitu kuucapkan terimakasih kau telah menyembuhkanku dari ketakberdayaan dan ketidakpercayaan atas nama batu pualam bernama kasih itu, batu yang sangat keras, meski semakin berat aku menahan dan menyimpannya, betapa api dari dalam dan tetesan air kasih tulusmu itu seakan membuatnya akan meledak. Hingga kudapati sebuah pencerahan bahwa ini tak boleh terjadi, berdosa untuk sekedar menyimpan sebuah kasih tak bertuan. Terimakasih pula kuucapkan dengan tangis leleh berjuta pualam bernama kasih itu, kuantar kau Angel ke haribaan kasih sejatimu, kusadarkan bahwa kaulah yang sakit, sakit karena terlalu tulus dan ikhlas dalam kasihmu pada diri yang tak akan dapat kau raih ini, kita berada dalam ujung pelangi yang berbeda, meski akhirnya kau sadar dalam basahnya mata jernihmu. Salamku selamanya untukmu, carilah duniamu, carilah siapa yang layak untukmu, dalam pelangi yang sama, pelangi keabadian bagi rumah kasihmu, selamat jalan kekasihku sang Angel, kan kupastikan menemukannya. Seperti kuakan menemukan kedamaianku kesejatian rumah pualam bernama kasih ini yang kusimpan untuknya yang berjejuluk damai.

Senin, 07 September 2009

Punk Antara Paham dan Lifestyle

PUNK. Banyak yang salah kaprah mengindentikkan anak-anak punk. Menurut anggapan mereka-mereka yang “bergaya” punk secara fashion, punk adalah sepatu boot, celana ketat, rambut mohawk dan piercing di seantero tubuh. Benarkah?

Tentu saja tidak segampang itu pantas disebut anak punk. Menurut pengertian Craig O’Hara dalam The Philosophy of Punk (1999) mendefinisikan punk lebih luas, yaitu sebagai perlawanan “hebat” melalui musik, gaya hidup, komuniti dan mereka menciptakan kebudayaan sendiri. Nah, apakah yang sekedar bergaya sok punk, bisa disebut real punk? Oknum kalau itu.

Konon, gaya hidup punk itu selalu dengan pemberontakan.

Banyak orang yang bilang kalo PUNK itu cuma gaya hidup, fashion-style, malah ada yang menganggap PUNK itu adalah anarkisme dan komunitas orang-orang gak punya agama. Padahal pemahaman seperti itu salah. PUNK sebenarnya adalah suatu paham yang mengajak para pengikutnya untuk terus melawan dan melawan, menentang segala macam ketidak-adilan, menjunjung tinggi kebebasan dan terutama adalah saling menghargai antara umat manusia. Memang style mereka sangat khas, celana ketat, sepatu boot, rambut mohawk, jaket penuh dengan pernik logam, dan sebagainya.

Punk itu lebih dari sekadar musik. Punk adalah gaya hidup yang bisa mengubah hidup dirinya atau lingkungan sekitarnya.
Punk’s not dead!
ada yang bilang, punk bukanlah fashion! Yeah, bisa dibilang begitu. Bahkan punk juga bu-kan sekadar musik. Punk adalah gaya hidup. Berarti akan nempel di keseharian kita. Jadi bagaimana dan kapan kita bisa mengaku bahwa kita adalah punkers? Apakah saat kita tiap pagi dibangunkan oleh jeritan Johny Rotten (Sex Pistols)? Atau saat kita muncul di jalan dengan rambut mo-hawk, jins penuh tambalan dan boot?
Well punk lebih dari itu. Punkers bukanlah orang yang tak mempunyai tujuan hidup. Agak sulit ya kita menjadi punkers kalau kita sendiri tidak me-ngerti kenapa orang-orang memilih menjadi punkers.
Definisi Punk
Menurut kamus bahasa Inggris, punk bisa berarti enggak penting, tidak berguna, busuk. He he he. Entah kenapa nyambung banget sama sebutan vokalis Sex Pistols. Nama aslinya Joh-ny Lyndon, tapi Steve Jones memang-gilnya Rotten. Dan jadilah nama dia Johny Rotten.
Kita lupakan saja kamus bahasa itu. Sekarang kita lihat arti punk, me-nurut seorang guru punk, Joe Kidd. Menurutnya punk punya arti yang be-rubah sesuai dengan tingkat kedewa-saannya. Saat dia berusia 13 tahun, punk baginya adalah sesuatu yang liar, dandanan yang revolusioner, eng-gak perlu ke sekolah, dan musik se-tiap saat. Lalu dia terus berpikir dan akhirnya menemukan bahwa punk adalah sebuah semangat. Semangat untuk perubahan, ketidaktergantungan, proses kreatif dan peduli tentang politik. Semakin lama pandangan punk makin luas. Tapi penekanannya tetap di bagian yang sama. Punk ada-lah sebuah semangat untuk meng-hadapi hidup dengan kreativitas tinggi.
Mereka yang memulai hidup se-bagai punkers adalah kelas mene-ngah ke bawah. Dan punya tujuan yang sangat simpel. Enggak mau di ganggu, minum, dan mendengarkan musik. Cuma tiga itu saja. Tentunya untuk terus hidup seperti itu enggak bisa terjadi begitu saja. Kasus yang hampir sama dengan proses lahirnya skinheads. Mereka tumbuh jadi orang yang bekerja keras di siang hari. Tuju-annya memang hanya mengumpulkan uang untuk having fun di malam hari. Tapi satu semangat mereka adalah untuk independent atau tidak tergan-tung. Jadi punkers selalu berusaha untuk bekerja apa pun. Inilah yang menunjukan semangat punk untuk hidup mandiri.
D.I.Y.
Ideologi D.I.Y. (do it yourself) mengesankan punkers berjiwa indi vidualis. Padahal yang dimaksud di sini adalah independent tadi. Ti-dak tergantung pada siapa pun. Selama hal itu masih bisa kita lakukan sendiri kenapa enggak? Yang menghapuskan individualis tadi adalah semangat equality. Se-mangat kebersamaan antara se-sama punkers.
Lebih jelas jika kita lihat kon-disi sebuah band. Sebuah band punk yang menganut D.I.Y. akan berusaha untuk menangani album mereka sendiri. Mulai dari proses produksi, penggandaan sampai soal distribusi. Untuk menangani hal itu sangat berat jika dilakukan oleh satu orang. Di sinilah mereka sangat memerlukan kebersamaan. Semangat kebersamaan demi tu-juan bersama.
Modal lain untuk melakukan itu semua adalah brain! Yup, kita harus punya otak dong. Kalau otak kita kosong, bakal ditipu terus. Gimana pula kita bisa menghadapi perubahan, dan mengerti tentang situasi politik. Oleh karena itulah bohong besar kalau punkers tidak memerlukan pendidikan. Walau memang tidak harus di sekolah formal.
Nah sekarang kita siap eng-gak untuk menjadi seorang punker sejati. Seseorang yang benar-benar bisa menghadapi tantangan hidup. Selalu siap menghadapi ber bagai keadaan. Bukannya berarti kita harus selalu tidur di pinggir jalan. Tapi kita siap kalaupun ha-rus hidup di pinggir jalan. Bukan cuma berani menggunakan celana jeans ketat, rambut mohawk, se-patu boots saja. Tapi kita juga ha-rus malu kalau masih minta uang ke orang lain. Termasuk orang tua kita.
Bagaimana oi? Siap untuk bekerja di siang hari dan berpesta di malam hari? Ayo jangan bikin malu punk!

Mungkin kalo mau dihitung, banyak banget aliran-aliran dari punk itu sendiri. Ada street punk, punk jenis ini biasanya hanya menampilkan sisi keserdehanaan dan sisi jalanannya. biasanya pengikut-pengikutnya adalah kalangan anak jalanan dan pengamen jalanan. Jauh beda sama glamour punk yang menunjukkan sisi keglamouran dari punk itu sendiri, pengikutnya biasanya adalah golongan-golongan orang-orang kaya yang selalu menampakkan kekayaannya. Kalo melodicktz punk lain lagi, biasanya style mereka lebih mendekati anak-anak skater. Dan mereka lebih mengfutamakan kegembiraan dan lebih menonjolkan kekonyolan dalam kehidupan mereka. Beda lagi sama Emmo punk, yang biasanya pengikut-pengikutnya dalah anak-anak muda dan remaja yang jiwanya sedikit labil. Punk ini lebih menunjukkan emosi dalam berekspresi. Masih banyak lagi aliran punk yang gak bisa di bahas satu-satu, tapi intinya adalah satu. Mereka tetap PUNKER (sebutan bagi pengikut PUNK).

Ada satu hal yang harus dicamkan pada paham PUNK ini, junjung tinggi EQUALITY. Karena hanya itulah nyawa dari PUNK…

Rebel For Life


Rebel For Life

Pemberontak, rebel……what’s came up in your head when you hear this word?
Melawan orang tua? Drugs? Mabuk lalu menghajar orang? or mengganti dress-code mu mengikuti gaya band2 yang over-played di MTV?
Well, no matter what you do, esensi pemberontakan tidak akan pernah berubah.

A real rebellion stays under your skin. Bukan dari dandanan, machoism, tattoos, piercing or anorexic-look yang dibuat-buat. There’s two kinds of rebel. Once you’re a real rebel, kamu akan selalu jadi a rebel for most of your lifetime, tak akan bisa berubah coz that’s who you are. It’s in your blood. Kamu akan selalu berpikir utk melawan kecenderungan2 yang ada, kapan saja dimana saja.But when you’re a wannabe-rebel [pemberontak tanpa misi dan prinsip yang jelas] kamu hanya akan memandang sebuah pemberontakan dari sisi luarnya aja [baca: fashion] Dan a wannabe-rebel tidak akan pernah membuat sejarah atau melahirkan pemikiran baru yang lebih baik utk generasinya.

Kita orang timur emang seringkali bingung mengadaptasi culture barat yang sedemikian liberalnya, dimana disini masyarakat kita diikat oleh tatanan atau norma yang kadang gak penting dan berlebihan. Masyarakat kita mencintai keseragaman dan kurang menghargai sosok2 idealis or individualis. Menjadi seorang rebel memang susah untuk hidup di Indonesia, for real, tapi disanalah letak art of the rebellion-nya. Sesuatu yang memerlukan pengorbanan karena masyarakat kita masih cenderung melihat sisi negatif dari seorang rebel [di cap sok kebarat-baratan dll]. Padahal menjadi rebel bukanlah hal yang 100% salah. Tergantung apa yang kamu lawan. Misalnya, kamu benci melihat sinetron2 Indonesia yang mewah, dangkal dan mudah ditebak, lalu kamu bikin sebuah film dokumenter ttg bagaimana sinetron2 tsb membodohi masyarakat kita yang mayoritas masih hidup dibawah garis kemiskinan. Itu sebuah pemberontakan yang pintar. Sebuah counter thd. komersialitas dan penyeragaman yang berlebihan.

A real rebel selalu berada diluar kecenderungan masyarakat, dan itu bukanlah pilihan yang salah, selama kamu bisa bertahan dan mempertanggung jawabkan misi dari pemberontakkan mu.

Harus diingat, kecenderungan di masyarakat atau di scene tidak selalu benar dan baik buat kita.

Contohnya ketika trend emo menyerang, remaja kota2 besar beramai-ramai menutupi rambutnya dgn poni dan bikin band emo dadakan, alasannya biar keliatan ‘cool’ dan diterima di pergaulan kota besar yang makin konsumtif. Hanya sebagian kecil dari remaja2 kita yang serius menyimak dan mengerti lirik band2 emo. Ironis. Padahal diasalnya, band2 tsb terbentuk karena mereka sering tersisih dalam pergaulan, dan musik yang mereka tulis adalah penegas kalau mereka adalah orang2 yang berada diluar kecenderungan/pergaulan. Disini, oleh sebagian besar remaja malah dipakai senjata utk kelihatan ‘up to date’ dan ‘gaul’[damn, i hate that word!]. Same thing happens to punkrock and ska and maybe rockabilly in the future.. Misi pemberontakannya ditinggalkan, fashion-nya di obral habis2an. Dan menurut saya itu samasekali bukan pemberontakan.

Kalau saya umpamakan pemberontakan adalah struktur sebuah lagu/band, jadinya begini: pakaian yang dikenakan oleh personel band, jenis suara gitar, drum dan suara teriakan/nyanyian vokal adalah media penyampai pemberontakan, sedangkan isi dari pemberontakan itu sendiri ada pada lirik. Karena lirik berasal dari pemikiran yang paling dalam, ada pesan yang ingin disampaikan. Banyak orang yang bisa bermain skillful, tempo drum hebat, tehnik vokal diatas angin dan bergaya spt rockstar kebanyakan groupies yang mempunyai masalah kejiwaan [yea right...] tapi jarang bgt ada band Indonesia, apalagi yang terkenal, punya lirik berontak yang skaligus pintar. Ujung2nya paling keras bisanya menghujat pemerintah tanpa ngasi solusi yang jelas, yang buruh bangunan pun bisa melakukan itu sambil menghisap kretek terakhirnya. Jadi ya, percuma saja kalau ada band yang merasa sudah pemberontak hanya karena memakai kaos gambar tengkorak, tattoo or mohawk, distorsi maksimum dgn beat drum yang berat, tapi liriknya masih standar khas Indonesia [lirik cinta yang dangkal dan di klip harus ada model cantik dan ganteng lagi berantem] Seorang rebel akan menemui kesulitan men-support band2 spt itu. Lagipula, kenapa harus nyerah ama standar2 yang dibikin ama generasi sblm kita, apa kita tidak punya hak utk punya taste thd standar yang berbeda?

Sekarang try to think, kecenderungan apa aja yang ada di masyarakat kita yang kamu rasa mengganggu tidurmu. Ignorance is the real enemy. Kamu benci melihat budaya kekerasan yang semakin populer di masyarakat, lawan itu semua dan jangan ikut menjadi seperti mereka. Kamu kesal stiap kali melihat masyarakat dengan santainya membuang sampah plastik sembarangan, jadilah seorang pro-environment dan pengaruhi orang2 disekitarmu. Kamu gak tega melihat hewan2 dibunuh utk dimakan, jadilah seorang vegetarian dan daftarkan dirimu di peta2.com. Kamu bosan melihat budaya modern nan konsumtif anak muda yang manja dan kadang berlebihan, jadilah seorang berandal pasar barang bekas dan kenakan pakaian bekasmu dengan bangga dan stylish. Kamu merasa menyesal membeli majalah yang dipenuhi wajah2 infotainment ga penting, bikin dan cetaklah wajahmu sendiri. Bosan ama design kaos2 distro yang makin seragam dan cheesy, bikin clothing-line mu sendiri. Akan lebih baik jika kamu melakukan itu semua tanpa menjadi seorang fasis yang kaku. Just do your own thing.

See..banyak hal2 berontak yang bisa kamu lakukan di Indonesia tanpa harus merugikan orang lain dan malah bisa menguntungkan jika kamu bisa me-manage ‘kenakalanmu’

Jadilah seorang counter-culture with a big heart, yang bertanggung jawab, respect thd keluarga, lingkungan dan bumi pertiwi. Dont judge us, musicians, by the way we look or the way we dress, coz these days, anyone can look so punk, so psycho, so emo, so rockabilly, so metal dalam hitungan detik. Zap! Just like that!

Jangan sampai terjebak menjadi seorang rebel bodoh yang hanya mengejar status sosial.
You gotta know where you stand and why you stand there. Knowledge [pengetahuan] is king and that’s all you need to be a real modern rebel. Cheers, cherry and dynamite!

jrx

Selasa, 28 Juli 2009

fungsi candi

candi berasal dari kata centra godomayit yag arti nya pemakaman(orang di kubur),centra gondo mayit juga merupakan istana atau stay dari dewi durga(durga dalam mitologi hindu juga di sebut sebagai istri dari dewa syiwa dawa pengahancur),,fungsi utama dari candi adalah sebagai tempat pemakaman,pendahmaan bagi orang yang di anggap suci,dalam hal ini adalah raja.lambat laun fungsi candi di indonesia beralih tidak cuma sbgai pemakaman tapi jg sebagai pemujaan,patirtan,candi untuk meruwat,pintu gerbang dll.(saya kutip dari apa yang di terangkan oloeh dosen saya ALm.bp.marno,dosen fkip sejarah uns)

Candi merupakan bangunan suci yang berkembang pada masa Hindu-Buddha. Bangunan suci ini dibuat sebagai sarana pemujaan bagi dewa-dewi agama Hindu maupun agama Buddha. Agama Hindu dan Buddha berasal dari India sehingga konsep yang digunakan dalam pendirian sebuah bangunan suci sama dengan konsep yang berkembang dan digunakan di India, yaitu konsep tentang air suci. Bangunan suci harus berada di dekat air yang dianggap suci. Air itu nantinya digunakan sebagai sarana dalam upacara ritual. Peran air tidak hanya digunakan untuk upacara ritual saja, namun secara teknis juga diperlukan dalam pembangunan maupun pemeliharaan dan kelangsungan hidup bangunan itu sendiri. Didirikannya bangunan suci di suatu tempat memang tempat tersebut potensi untuk dianggap suci, dan bukan bangunannya yang potensi dianggap suci. Maka dalam usaha pendirian bangunan suci para seniman bangunan selalu memperhatikan potensi kesucian suatu tempat dimana akan didirikan bangunan tersebut.

Agar tetap terjaga dan terpeliharanya kesucian suatu tempat, maka harus dipelihara daerah sekitar titik pusat bangunan atau Brahmasthana serta keempat titik mata angin dimana dewa Lokapala (penjaga mata angin) berada untuk melindungi dan mengamankan daerah tersebut sebagai Wastupurusamandala yaitu perpaduan alam gaib dan alam nyata. Kemudian dilakukan berbagai upacara untuk mensucikan tanah tersebut. Dalam hal ini air sangat berperan selama upacara berlangsung, karena air selain mensucikan juga untuk menyuburkan daerah tersebut. Sehingga dalam upaya pendirian suatu bangunan suci, selain potensi kesucian tanah yang perlu diperhatikan adalah keberadaan atau tersedianya air di daerah tersebut. Hal ini sama dengan konsep kebudayaan India yang menyatakan bahwa keberadaan gunung meru sebagai tempat tinggal para dewa dikeilingi oleh tujuh lautan. Maka secara nalar dan umun dapat diketahui bahwa pendirian sebagian besar bangunan suci tempatnya selalu berada di dekat air.

Keadaan geografis wilayah sumatra yang memiliki aliran sungai yang besar sangat mendukung konsep dari kebudayaan India tersebut. Dengan adanya aliran sungai besar tersebut air dengan mudah didapat untuk keperluan dari upacara ritual. Selain faktor air, faktorekonomi juga dapat melatarbelakangi berdirinya suatu bangunan suci. Aliran sungai di Sumatera pada masa lampau merupakan jalur transportasi untuk perdagangan. Pada awalnya jumlah pedagang yang datang sedikit. Namun lama kelamaan karena menunggu waktu yang tepat untuk berlayar maka mereka bermukim di sekitar daerah tersebut. Maka diperlukanlah tempat peribadatan untuk umat beragama, dan didirikanlah bangunan suci. Karena tidak mungkin berdirinya suatu bangunan sakral atau candi tanpa didukung masyarakat pendirinya demi kelangsungan hidup bangunan suci tersebut. Maka seirama dengan tumbuh dan pesatnya perdagangan di suatu tempat pada umumnya akan muncul pula bangunan-bangunan suci atau candi untuk digunakan sebagai tempat menjalankan upacara ritual oleh para pelaku ekonomi tersebut yang telah mengenal magis terhadap bangunan candi, berperan dalam fungsi perkembangan sosial/ekonomi dan perdagangan.

Faktor kekuasaan juga berpengaruh dalam pembangunan suatu candi. Suatu kerajaan yang berhasil menaklukkan suatu wilayah, tentunya terdapat tinggalan yang dapat menggambarkan ciri khas suatu kerajaan tersebut. Tinggalan tersebut dapat berupa prasasti maupun candi.

contoh fungsi candi:

  1. sebagai tempat pendarmaan:candi2 semacam ini kebanyakan terdapat di jawatenggah(terutama candi hindu) mia:prambanan,candi kidal di jawa timur(anusopati di semayamkan),candi jawi dan candi singgosari di jatim dll.
  2. sebagai patirtan:candi tikus di jatim.
  3. sebagai pintu gerbang : candi bentar,candi brahu
  4. sebagai tempat ruwatan(mensucikan jiwa): candi sukuh.
  5. sebagai upacara keagaaman atu tempat ibadah :hampir seluruh candi.
sekian dulu yg bisa saya tulis,,,masih banyak yang belum bsa di jabarkan....