Rabu, 16 September 2009

in the arm of the Angel

in the arm of the Angel

Angel, pesona tubuh beserta wajah rupawanmu memang menggoda, merasuk dalam sekat-sekat relung hati, membawa rindu di keremangan-keremangan malam yang sendu. Jomblo begitulah orang selalu menuduhku, seorang jomblo dengan never ending love disorder yang menjadi motto sebuah keluarga tak bertuan di dunia antah berantah. Bertelanjang harap kau mencoba hadir, kadang senyap kadang hingar bingar. Tak menentu namun bagaimanapun jomblonya tetap saja aku mengenali cahaya di matamu, sebuah cahaya penuh harap, cahaya peluang dan rongga waktu yang seakan tak terbatas. Hai Angel, mengapa kau ingin hadir untuk menyiram kering kerontangnya ruangan yang selalu kututupi dengan sejuta pesona ini. Tiada pernah kau lelah, setiap waktu baik dalam dimensi nyata maupun dalam dimensi harap, seakan kau datang bertubi-tubi menyerangku, bagai seorang malaikat yang ingin menyelamatkanku dari rengkuh keangkuhan sebuah batu pualam bernama kasih. Kadang harus kuberontak karena sakit, betapa batu pualam bernama kasih itu semakin berlubang karena tetes harap darimu.

Mengapa Angel?, haruskah kudendangkan Losing my religionnya "RAM", begitu jauh nuansa kerohanian kita meskipun aku hanya katanya syariah Islam sebagai sebuah peribahasa dalam kartu tanda pendudukku. Bukan hanya hitungan hari dan bulan, bahkan dalam edaran bumiku mengitari surya, betapa hatimu bagaikan malaikat, seorang cantik jelita berhati malaikat bernama Angel. Berkulit putih bercahaya berwajah bulat telur berambut panjang dengan dua mata jernih mengapit hidung mbangirmu, aduhai betapa sempurna bagai malaikat tak punya dosa dan salah, betapa ku menjadi semakin terpuruk, terpuruk dalam harap meski tak pernah dapat kukatakan walau lirih bahwa aku mencintaimu dengan segenap gunung dan banjir lava dalam alam nuraniku, oh betapa beratnya menahan untuk tidak mengucapkannya, saat menatap mata dan ketika bibir ini beradu, entah iblis apa yang mencegahnya.

Mengapa belum kuat diriku untuk mencoba lolos dari himpitan ideologi itu, betapa sekat itu mengatakan ada bahaya besar ketika aku lolos dan tak kuat mengatakannya. Betapapun begitu kuucapkan terimakasih kau telah menyembuhkanku dari ketakberdayaan dan ketidakpercayaan atas nama batu pualam bernama kasih itu, batu yang sangat keras, meski semakin berat aku menahan dan menyimpannya, betapa api dari dalam dan tetesan air kasih tulusmu itu seakan membuatnya akan meledak. Hingga kudapati sebuah pencerahan bahwa ini tak boleh terjadi, berdosa untuk sekedar menyimpan sebuah kasih tak bertuan. Terimakasih pula kuucapkan dengan tangis leleh berjuta pualam bernama kasih itu, kuantar kau Angel ke haribaan kasih sejatimu, kusadarkan bahwa kaulah yang sakit, sakit karena terlalu tulus dan ikhlas dalam kasihmu pada diri yang tak akan dapat kau raih ini, kita berada dalam ujung pelangi yang berbeda, meski akhirnya kau sadar dalam basahnya mata jernihmu. Salamku selamanya untukmu, carilah duniamu, carilah siapa yang layak untukmu, dalam pelangi yang sama, pelangi keabadian bagi rumah kasihmu, selamat jalan kekasihku sang Angel, kan kupastikan menemukannya. Seperti kuakan menemukan kedamaianku kesejatian rumah pualam bernama kasih ini yang kusimpan untuknya yang berjejuluk damai.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar